Ada beberapa kisah yang bisa dijadikan renungan dan diambil pelajaran. Mana yang harus didahulukan, menikah atau mencintai?
Kisah pertama
Tentang sebuah keluarga yang menikah tanpa didasari rasa saling mencintai terlebih dahulu.
Sebut saja namanya Mr. A, seorang yang cukup mumpuni ilmu agamanya. Di dasari dengan niat untuk menyempurnakan agama, Mr. A memberanikan diri untuk melamar seorang perempuan yang belum begitu dikenalnya. Hanya sebatas tahu kalau itu orangnya, rumahnya disini, anakanya pak ini dan bu itu. Tanpa didasari rasa saling mencintai, tanpa adanya proses pacaran, karena takut melanggar agama.
Ternyata lamaran Mr. A diterima oleh perempuan tersebut, yang sebelumnya sudah solat istikhoroh beberapa kali sebelum menerima Mr. A. Resepsi pernikahan pun dilangsungkan dengan acara yang sederhana.
Yang dirasakan di awal pernikahan adalah rasa canggung, mungkin karena sebelumnya belum mengenal akrab dan belum ada rasa saling mencintai. Tetapi rasa canggung itu bisa dihilangkan dengan canda tawa dan gurauan di antara mereka berdua.
Dengan bekal ilmu agama yang mumpuni dan keimanan yang insya Allah kuat, akhirnya rasa saling mencintai pun selalu tumbuh di hati mereka. Rasa mencintai yang tulus, tulus untuk membina keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Rasa cinta yang tulus, saling memahami kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Jika ada orang lain yang melihat, insya Allah akan sangat mendambakan keluarga seperti ini. π
Satu pelajaran berharga;
Sebelum menikah, membutuhkan kepahaman agama yang kuat, niat yang benar, dan implementasi dari ilmu agama yang sudah diperoleh. Bukan hanya karena sudah ingin menikah, tetapi juga butuh kesiapan lahir dan batin.
Kisah kedua
Masih tentang sebuah keluarga yang menikah juga tanpa didasari rasa saling mencintai terlebih dahulu. Dengan niat menikah yang sama dengan kisah yang pertama, yakni untuk menyempurnakan agama dan keimanan. Sepenuhnya mereka meminta bantuan kepada orang yang mereka percayai untuk mencarikan pendamping hidup. Alhasil, mereka pun dipertemukan, dan setelah itu terjadi proses lamaran dan dilanjutkan dengan resepsi pernikahan.
Saat ini hampir dua puluh tahun mereka membina sebuah keluarga. Banyak lika-liku kehidupan rumah tangga yang sudah mereka alami. Cobaan ekonomi, keimanan, anak dan banyak cobaan lain yang Allah berikan untuk menguji keluarga ini. Mereka sadar memang selama ini mereka tidak dekat dengan Allah, masih banyak perintah yang belum mereka kerjakan. Mungkin hal itulah yang menyebabkan cobaan terus datang silih berganti.
Selama sekian tahun menikah itu pula, ternyata tidak tercipta sebuah keluarga yang sakinah mawaddah. Seakan-akan mereka hanya mempertahankan keluarga ini demi anak-anak, dan untuk menjaga nama baik keluarga. Bahkan suatu ketika sang istri mangatakan βMungkin Allah memang tidak akan memberikan sakinah dan mawaddah untuk keluargaku. Banyak sekali cobaan dalam hidup ini, ekonomi, anak, suami, dan banyak lagi yang rasanya menjadi sangat berat untuk mempertahankan keimanan. Dan semua itu kusimpan sendiri, entah sampai kapan aku kuat menahan semua ini. Tetapi setidaknya Allah masih memberikan rahmat di keluarga ini. Ketika aku dan suamiku berjauhan, kami merasa ada yang hilang, ada sesuatu yang kurang, tetapi ketika kami bersama seakan-akan tidak ada cinta di antara kami. Tetapi sudahlah, mungkin ini memang qodarku, mungkin inilah cara Allah menguji keimananku, mungkin dengan cara inilah Allah mengingatkanku bahwa aku dan suamiku masih sangat sedikit menjalankan perintah Allah. Akan tetap kujalani kisah ini, tetap kutaati suamiku, tetap kupertahankan keluarga iniβ. Benar-benar jawaban dari seorang istri yang luar biasa.
Suatu pelajaran lagi;
Ketika kita kelak menjadi seorang suami/istri, terbukalah dengan pasangan kita. Sharing semua masalah yang kita hadapi dengan keluarga, jangan dipendam sendiri, karena barangkali salah satu dari anggota keluarga kita akan mengusulkan jalan keluar yang terbaik dari masalah yang kita hadapi.
Kisah ketiga
Tentang keluarga yang menikah tanpa didahului dengan rasa saling mencintai. Dengan niat awal yang masih sama dengan niat pada kisah pertama dan kedua. Mereka juga menikah tanpa saling mengenal terlebih dahulu, apalagi saling mencintai. Diperkenalkan, lamaran, dan langsung menikah.
Sayang sekali, dengan ilmu dan kepahaman agama yang belum cukup, keluarga mereka tidak berjalan secara harmonis. Dengan menikah sebenarnya seorang muslim sudah menyempurnakan setengah keimanan dan 2/3 agamanya, hanya tinggal menyempurnakan setengah iman dan 1/3 agama sisanya. Dengan hadirnya pendamping hidup, seharusnya mereka bisa saling menasehati, saling mengingatkan apabila masih ada kewajiban, masih ada perintah dari Allah Rosul yang belum dikerjakan oleh salah satu dari mereka. Tetapi ternyata hal itu tidak pernah dilakukan. Lebih dari 7 tahun mereka membangun sebuah keluarga, justru mereka terasa semakin menjauh dari jalan agama. Entah sang suami tidak mampu menasehati istrinya, atau sang istri yang susah dinasehati oleh suaminya. Wallohu aβlam.
Kisah mereka pun berujung pada perceraian setelah lebih dari 7 tahun membangun keluarga. Bukan tidak ada usaha untuk menyatukan keluarga ini, mereka sudah sering berkonsultasi terhadap orang yang mereka anggap lebih mumpuni ilmunya, lebih berpengalaman dalam membina keluarga. Tetapi memang qodarulloh berkata lain, keluarga ini memang sudah tak terselamatkan lagi. Naβudzubillahi min dzalik
Satu pelajaran;
Menikah itu butuh ilmu dan kepahaman agama yang kuat. Menikah bukan hanya tentang melampiaskan nafsu, menikah itu bukan sebuah permainan, menikah itu untuk membangun sebuah keluarga. Jadi, pahamkan dulu diri kita sebelum menuju ke pelaminan. Cari dulu ilmu agama yang cukup, karena kelak kita harus mengajari anak-anak kita tentang semua hal, dan itu akan dipertanggungjawabkan sampai di akherat.
Kisah keempat
Tentang sebuah keluarga yang menikah dengan didasari memang sudah saling mencintai satu sama lain sebelum menikah. Mungkin karena intensitas bertemu yang sangat sering, perasaan saling menyukai tumbuh diantara mereka berdua. Namun mereka tidak melampiaskan perasaan mereka dengan cara berpacaran atau pun yang lainnya. Mereka hanya sebatas saling mengetahui bahwa mereka saling menyukai satu sama lain. Komunikasi di antara mereka pun berlangsung biasa saja, tanpa pernah pergi berdua-duaan atau hal-hal yang berbau pacaran lainnya. βTakut ada setan yang merasuk masβ, katanya. Kalau terpaksa ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan, mereka tidak akan pergi berdua, tetapi bertiga, supaya ada orang lain yang menjadi saksi bahwa mereka tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Karena takut melanggar peraturan agama dan juga diniati karena Allah untuk menyempurnakan agama dan keimanan, akhirnya mereka memutuskan untuk segera menikah. Pernikahan pun dilangsungkan secara sederhana. Namun sebelum menikah, mereka sepakat untuk mentaubati dosa-dosa yang mungkin tanpa sengaja sudah mereka lakukan selama mereka melakukan pedekate. βSupaya nantinya Allah paring kebarokahan untuk keluarga kamiβ.
Di sinilah perbedaan dengan kisah yang pertama, karena mereka memang sudah benar-benar saling mengenal dan saling menyukai satu sama lain, maka di awal-awal usia pernikahan, mereka sudah tidak canggung lagi untuk menyampaikan sesuatu hal kepada pasangannya. Paling tidak, sudah sedikit lebih mengerti tentang sifat, sikap, dan karakter pasangannya.
Alhamdulillah semuanya berjalan lancar seperti yang mereka inginkan. Bisa membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, dengan dikaruniai anak-anak yang solih solihah.
βNikah itu hanya 1 % nikmatnya, yang 90 % nikmat banget. Kalau salah ada yang mengingatkan, kalau istri salah juga suami punya kewajiban untuk mengingatkan. Kalau suami tidak suka dengan sesuatu hal yang dilakukan oleh pasangan, maka harus berbesar hati untuk menerimanya, menutupi dengan kelebihan yang dia miliki. Itulah konskuensi dari sebuah keputusan yang diambil : menikahβ, kata sang suami ketika diminta untuk berbagi ilmu tentang pernikahan yang sudah dia jalani.
Satu hal lagi yang menarik;
Taubati dulu dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelum menikah, insya Allah akan diberikan kebarokahan dalam membina rumah tangga.Β Amiiiin…
Kisah Kelima
Tentang keluarga yang sebelum menikah sudah saling mencintai satu sama lain. Mereka menjalin hubungan sejak masih usia remaja. Sudah sering jalan berdua layaknya orang pacaran lainnya. Karena takut terjadi pelanggaran agama yang sangat berat, akhirnya orang tua dari pihak laki-laki maupun perempuan sepakat untuk segera menikahkan putra-putri mereka.
Pernikahan pun berlangsung cukup meriah. Awal usia pernikahan, rumah tangga mereka baik-baik saja. Namun ketika usia rumah tangga mereka menginjak usia 7 tahun, ternyata terjadi sebuah konflik cukup panas. Dengan bekal kepahaman agama yang kurang, dan juga sebelum menikah mereka sudah menerjang larangan-larangan agama, akhirnya Allah memberikan ujian yang cukup berat. Sang suami ternyata memiliki wanita idaman lain. Dan sang istri tidak mau terima, akhirnya minta diceraikan. Cinta di antara mereka yang dulu membara, ternyata membeku di usia pernikahan yang ke tujuh tahun. Seperti kata pepatah βCinta yang sangat membara akan berakhir beku seperti esβ.
Ada pelajaran lagi yang bisa diambil;
Cintailah dengan sederhana, jangan berlebihan. Dan janganlah melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama sebelum dilangsungkannya pernikahan, kelak hal itu hanya akan menyebabkan rumah tangga tidak diberi kebarokahan oleh Allah.
Penilaian manakah yang lebih baik, menikah dulu baru mencintai atau mencintai dulu baru menikah. Silahkan anda mengambil penilaian sendiri dari kisah-kisah di atas. Semua ada positif negatifnya, yang jelas ketika memilih pasangan hidup, lihatlah dulu agamanya. Seperti yang sudah diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa perempuan itu dinikahi karena 4 hal, hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Ketika menikahi seseorang hanya dengan melihat 3 hal yang pertama, maka akan rusak. Maka nikahilah seseorang dengan terlebih dahulu lihat bagaimana agamanya.
Demikian cerita ini di-COPAS mentah-mentah dari sini :-P. Buat menyentil kuping siapa saja, kalau boleh.
Semoga bermanfaat
@en_deen
#plaaaaaaaaakkkk π